2
-Dalam kebisuan Mawar berbicara,
dalam kesunyian Mawar bernada. Bertekad seperti apa yang seharusnya dengan
segenggam semangat yang dipegangnya-
Malam
ini di sebuah hotel megah di Jogja diadakan pertunangan sepasang anak manusia.
Alfino dan Arvilla. Villa dengan kebaya putih dan rambut yang ditata sedemikian
rupa membuatnya tampak anggun sekali mala mini. Begitu juga dengan Fino yang
menggunakan kemeja putih dilapisi jas
hitam di luarnya. Mereka tampak serasi sekali malam ini.
Fino
dan Villa berdiri berhadapan saling menatap mata masing-masing. Vila terhanyut
dengan tatapan mata Fino yang tajam. Villa tersenyum yang tetap saja disambut
wajah datar Fino. Mama Fino menyerahkan kotak merah ke tangan Fino. Fino
menerimanya lalu membuka kotak merah yang berisi cincin pertunangan. Cincin
berlian dengan desain yang elegan.
Fino
meraih tangan Villa lalu menyematkan cincin indah itu di jari manis Villa yang
mungil. Cincin indah itu sangat cocok disana. Semua tamu bertepuk tangan.
Sekarang giliran Villa menyematkan cincin itu ke jari manis Fino. Villa meraih
tangan Fino lalu menyematkan cincin serupa di jari manis itu dan mengecupnya
lama. Semua tamu kembali bertepuk tangan.
“I Love You, kak Al.” gumam Villa lirih.
Fino
bisa merasakan air yang menetes di punggung tangannya saat Villa mengecupnya
tadi. Fino pun hanya diam saat mendengar gumaman lirih Villa. Dia hanya berdiri
kaku tanpa mampu berucap kata sampai
sang Mama memberi kode untuk mengecup kening tunangannya.
“Maaf.”
Selalu kata maaf yang Villa dengar dari mulut Fino. Kenapa bukan kata Cinta?
Kecupan Fino di keningnya sama sekali tidak berasa. Hambar dan dingin. Sama
sekali tidak menghangatkan. Dari sana Villa sadar bahwa kata maaf tidak akan
berganti menjadi kata cinta. Mungkinkah rasa ini akan terpenjara dan menua
tanpa disentuhnya.
***
Acara
pertunangan selesai pukul 00.30 WIB membuat Fino bernapas lega saat sat per
satu tamu undangan meninggalkan ballroom hotel
hingga menyisakan keluarga Fino dan keluarga Villa saja. Fino membuka jasnya
lalu menyampirkannya di pundak, berjalan meninggalkan ruangan besar itu. Dia
butuh istirahat, malam ini sungguh melelahkan.
“Kak
Al.” Sebuah suara menghentikan langkahnya. Ia diam tanpa niat menoleh ke asal
suara.
“Kak
Al di panggil Papa.” Setelah berkata demikian Villa melewati Fino yang masih
diam berdiri di tempat.
“Kamu
mau kemana?” Villa menoleh dan tersenyum.
“Mau
isirahat ke kamar. Villa duluan ya kak.” Fino hanya diam dan kembali memutar
badannya menemui Papa Riko.
Fino
mengambil duduk di hadapan papanya. “kenapa Pa?” Papa menoleh dan menatap Fino
penuh ketegasan.
“Jadi
lelaki yang bertanggung jawab nak, sekarang kamu sudah memiliki tanggung jawab
baru untuk menjaga Villa sampai nantinya kalian menikah. Dia hanya perempuan
biasa, yang pastinya ingin disentuh cinta. Papa tahu kamu belum bisa menerima
perjodohan ini dan Papa juga bisa lihat tatapan Villa dan tatapan kamu itu
berbeda. Jangan kecewakan dia, belajar untuk menerima dia yang tulus.”
Setelah
mengatakan itu Papa bangkit dari duduknya dan melewati Fino yang masih terdiam.
“Masa lalu itu sudah lalu. Masa depan menantimu.”
***
Villa
melangkah dengan anggun memasuki kelasnya. Disana sudah ada Ine dan Aldi
sahabatnya yang melempar senyum menggoda kearahnya. Villa mengambil duduk di
depan keduanya.
“Ciee,
yang udah tunangan.” Seru Ine. Villa hanya memeletkan lidahnya.
“Cih,
sombong amat yang tunangan semalam.” Tambah Aldi. “Kok masuk sih? Nggak capek
apa?”
“Berisik
deh lo pada. Kenapa nggak datang semalam?” Tanya Villa.
“Kita
datang tau, lo aja yang sibuk sama tunangan lo itu. Ya kan Di?” Aldi hanya
mengangguk menyetujui. Villa mengernyit.
“Kok
nggak nyamperin gue?” sewot Villa
“Siape
lo?” balas Aldi dan Ine tidak mau kalah membuat Villa merengut kesal.
“Sorry Vil, semalam setelah acara pemasangan
cincin kita langsung cabut ibunya Aldi masuk rumah sakit.” Jelas ine.
“Ibu
sakit apa Di?”
“Maag
nya kambuh, Vil. Tapi sekarang udah pulang kok.”
“Salam
ya sama ibu.”
“Gimana
sama Fino?” Tanya Aldi sambil mengalungkan tangannya ke bahu Ine. Villa hanya
angkat bahu.
“Harus
tetap berusaha dan bersabar ya Vil.” Kata Ine. Ya, Ine dan Aldi memang sudah
tahu yang terjadi antara Villa dan Fino. Villa yang selalu curhat sama mereka dan kebetulan juga Fino ini sahabatnya
Aldi sejak kecil.
“Iya
dong, Cinta sejati tak kenal kata menyerah dan Fino itu Cinta sejati gue dan
nggak ada kata nyerah dan lelah untuk dia.” Aldi hanya tersenyum tipis dan
langsung menoyor kepala Villa.
“cih,
sok kali. Tapi, salut deh gue sama lo.”
“Salut
sih salut aja, jangan noyor gue. Bilang tuh sama sahabat lo kalo gue bakal
selalu nunggu.”
“Bilang
aja sendiri.”
“Aldiiiii.”
Geram Villa. Kemudian diliriknya Ine yang Cuma ketawa dan melototkan matanya.
“Putusin Aldi.”
“Woeee,
siape loo? Perasaan punya masing-masing, siape lo nyuruh-nyuruh putus?” Teriak
Aldi tak terima sedangkan Ine hanya bisa ketawa.
“Heh,
lo lupain jasa gue sama hubungan kalian?” sewot Villa.
“Haha,
jasa lo nggak bakal gue lupain kok Vil. Tenang aja lagi dan kita akan selalu
ada buat lo kok.”
“Iya,
Kita akan selalu ada buat lo kok sayang. Semangat untuk dapatkan cinta lo.”
Tambah Ine lalu merangkul Villa.
“Anytime buat lo.” Villa hanya tersenyum
dan mengangguk. Tetapi, sesat kemudian ia kembali memasang wajah juteknya
karena masih kesal dengan Adi dan Ine tadi.
“Nggak
butuh, wek.” Ia lalu bangkit dan meninggalkan Aldi dan Ine yang hanya bisa
membulatkan mulutnya. Kemudian mereka saling tatap dan tertawa. Villa, Villa.
***
Fino
terbangun dan melirik jam di tangannya. Jarum jam menunjukkan pukul 09.00 WIB
sudah terang sekali hari ini. Sehabis shalat Subuh tadi Fino kembali terlelap
karena semalam nggak bisa tidur. Ia masih memikirkan perkataan papanya. Tetapi
Fino tidak bisa, Fino masih mencintai Melatinya dan Fino yakin Melatinya
kembali.
Fino
melirik cincin yang melingkar di jari manisnya. ‘Lalu, kalau Melati kembali
bagaimana dengan cincin ini?’ Fino terdiam. ‘Kalau Melati kembali, aku akan
melepas cincin ini. Lalu bagaimana dengan Villa? Villa itu Mawar merah yang
selalu merona ceria.’
Fino
merasakan kepalanya berdenyut. Astaga, hanya memikirkan ini kepalanya menjadi
sakit. Ini terlalu rumit. Dia harus mendinginkan kembali kepalanya.
Selesai
mandi Fino memakai baju kaos putih yang dibaluti jaket hitam dengan celana
jins. Mengambil sepatu putih di rak sepatu dan memakainya. Kemudian di raihnya
tas Polo yang diletakkannya dalam lemari. Ia lalu turun ke bawah, mengambil
sepotong roti di meja makan dan langsung berlari ke mobil. Jam 10.30 WIB ia ada
kelas.
“Alfino
Rahel.” Suara Sang Mama menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan menghampiri
Mama yang sedang duduk di sofa ruang keluarga.
“Kalu
mau pergi pamit dulu.”
“Maaf
Ma, Fino kira nggak ada orang di rumah. Habis sepi sih. Fino mau ke kampus dulu
ya. Assalamu’alaikum Ma.” Fino mencium tangan mama lalu menicium kedua pipinya.
“Hati-hati
sayang.”
“Mama
juga hati-hati ya di rumah. Kalau ada apa-apa langsung hubungi Fino.”
***
Fino
memasuki rumah sambil bersiul, hari ini mata kuliah hanya satu dan begitu mata
kuliah itu selesai ia langsung pulang. Jadi ia bisa makan siang di rumah dengan
masakan Mama. Ia memperhatikan sekeliling rumah, tidak ada tanda-tanda
berpenghuni.
“Assalamu’alaikum.”
Serunya. Tidak ada jawaban.
“Assalamu’alaikum.”
Ulangnya lagi. Kini terdengar suara dari dapur. Fino menoleh dan mendapati
Villa yang sedang berjalan ke depan dengan celemek yang melekat di tubuhnya.
“Wa’alaikumsalam.
Kak Al sudah pulang?” sambut Villa dengan senyumnya yang merekah. Fino hanya
menggumam. Villa membuka celemeknya dan memutar tubuhnya kembali menuju dapur.
Kecewa dengan jawaban Fino.
“Kakak
sudah shalat? Kalau belum shalat dulu sana habis itu makan siang biar Villa
siapin.” Kata Villa tanpa menoleh kearah Vino yang masih berdiri dekat tangga.
Fino menghela napas lalu menyusul langkah Villa dan duduk di salah satu kursi
meja makan.
“Mama
kemana?”
“Mama
lagi ke rumah sakit diantar sama Papa.” Jawab Villa. Kemudian menyendokkan nasi
ke piring Fino dan meletakkannya di depan Fino.
“Mama
kenapa?”
“Tadi
Mama sempat batuk darah, makanya Papa langsung bawa ke rumah sakit. Mau lauk
apa?”
“Ayam
kecap.” Villa dengan telaten memindahkan sepotong ayam kecap ke piring Fino.
Menuangkan air putih ke gelas Fino kemudian duduk di hadapan Fino.
“Kamu
nggak makan?” Villa menggeleng.
“Aku
nungguin Kak Al aja.”
“Kamu
nggak perlu nungguin aku.” Nada penolakan itu membuat Villa kembali merasakan
nyilu di ulu hatinya.
“Aku
nggak keberatan menunggu siapapun dan berapa lama pun selama aku cinta sama
dia.” Jawab Villa. Fino terdiam beberapa saat dan kembali menyuapkan nasi ke
mulutnya. ‘begitu juga aku menunggu Melatiku kembali.’
Selesai
membereskan meja makan dan mencuci piring yang kotor Villa memutuskan untuk
pulang. Di ketuknya pintu kamar yang ia yakini milik Fino. Pintu terbuka dan
menampilkan Fino yang menggunakan celana pendek dan kaos putihnya dengan rambut
yang agak berantakan.
“Kak,
Aku pulang dulu ya.” Fino hanya mengangguk tanpa berkata apapun. Villa
mengangguk pasrah dan memutar tubuhnya menuruni tangga. Untuk bilang hati-hati
di jalan saja dia tidak apalagi mau mengantarkan Villa pulang. Itu hanya di
mimpi. Akhirnya Villa pulang dengan menggunakan Taksi yang iadapati setelah
jalan beberapa meter keluar dari kompleks perumahan Fino. Aku Villa, akan
selalu tegar membakar hatimu yang dingin agar menjadi cair.
***
Bersambung ...
0 comments:
Posting Komentar