Perjuangan
Cinta Mawar
Prolog
Yang
ku maksud bahagia itu
Ketika
aku mencintaimu,
Kamu
pun mencintaiku sepenuh hati
Rasa
yang tidak pernah hilang, datang dan pergi sesuka hati. Sungguh, aku hanya bisa
menerimanya dengan keindahan yang terukir di hati, dengan meraih puing-puing
rindu dan jiwa yang tidak tersentuh. Aku menunggu, sampai kau yakin tidak ada
wanita yang lebih baik dariku. Hingga akhirnya kau meraihku. Melatimu telah
mati dan aku Mawarmu yang akan tetap mekar.
-Arvilla Diana
Menyerahlah,
rasa itu tidak tepat kau tujukan padaku. Simpan dan jaga untuk pria yang akan
meraihmu. Yakinlah, itu bukan aku. Aku masih menunggu Melatiku kembali dan aku
tidak mau Mawar merah nan merona terabaikan. Menunggu itu sakit sayang dan aku
tidak mau kau merasakannya terlalu lama.
-Alfino Rahel
1
-Kisah tentang sekuntum Mawar yang
indah dan mempesona dalam pandangan. Harum semerbak menanti cinta-
Hari
ini pembicaraan dua keluarga tentang ikatan perjodohan terasa hangat dan penuh
suka cita. Dayat dan Riko tersenyum lega. Akhirnya perjanjian konyol yang
mereka tulis di pohon mangga samping kantin kampus terwujud. Kebetulan sekali
Riko mempunyai anak lelaki –Alfino Rahel yang sekarang sedang kuliah semester V
di salah satu universitas swasta di Yogya begitu juga dengan Dayat yang
mempunyai seorang anak perempuan –Arvilla Diana yang sekarang masih kuliah
semester III di Universitas Negeri Yogyakarta.
Villa
yang saat itu duduk di antara Ayah dan Bundanya melirik kearah Fino yang berada
di hadapannya. Wajah itu datar, tetapi wajah itu juga membuat hati bergetar.
Dengan memakai celana jins hitam dan kemeja putih lengan panjang dengan
garis-garis hitam membuatnya semakin tampan. Alis tebal, hidung bangir dan mata
yang sayu. Rambut hitam pendeknya tertata rapi. Sungguh, tampan. Tetapi,
bisakah wajah datar itu membentuk lengkungan indah di bibir. Villa menggeleng
sepertinya tidak.
Sejak
pertama bertemu Villa sudah merasakan getaran yang menjatuhkan. Iya, Villa
jatuh. Villa menjatuhkan hatinya kepada Fino. Namun, tidak tersambut lebih
tepatnya belum atau tidak sama sekali. Dari pertama bertemu Fino tampak enggan
menatapnya, kalaupun menatap pasti dengan wajah datarnya.
“Villa.”
“Ya?”
Villa menjawab dengan terkejut kemudian menatap Ayah dan Bunda bertanya.
“Temani
Fino ngobrol sana. Tadi dia ke belakang.” Villa mengangguk dan tersenyum ke
orang tua Fino lalu pamit ke belakang.
***
Villa
melihat Fino yang sedang duduk di gazebo belakang sambil menatap langit.
Pandangannya kosong membuat Villa dipenuhi tanda Tanya. Ada apa dengan Fino?
Perlahan Villa berjalan mendekati Fino dan mengambil duduk tepat di samping
kirinya. Fino tetap menatap langit, tanpa mengacuhkan keberadaan Villa.
“Kak
Al.” Fino menoleh sesaat lalu memalingkan mukanya ke kanan. Villa tersenyum
miris.
“Kenapa
nggak mau natap aku?”
“Kak
Al nggak suka sama aku?”
“Kak
Al nggak suka perjodohan ini?”
“Kak
Al bisa ngomong sama orang tua kita untuk membatalkannya kak.”
“Kak
Al, jawab.” Suara Villa terdengar bergetar sekaligus putus asa karena tidak
satu pun pertanyaannya dijawab Fino. Fino menoleh dan menatap wajah sendu calon
tunangannya. Fino tidak bisa berbuat apa-apa selain diam.
“Maaf.”
Villa mengangkat wajahnya menatap Fino. Wajahnya tetap datar membuat Vila
tersenyum miris kemudian bergumam lirih.
“Aku
cinta sama kak Alfino.” Setelah itu Villa meninggalkan Fino yang kini mematung
mendengar pengakuan Villa. Hatinya mencelos.
“Jangan beri aku rasa itu, Villa.” Gumamnya.
***
Bersambung ...
0 comments:
Posting Komentar